Langsung ke konten utama

Jadi Tua Itu Pasti, Jadi Dewasa Itu Pilihan, Jadi Mandiri Itu Puncak Keberhasilan

Ada banyak hal yang membuatku merasa terasing di sini. Salah satunya karena perbedaan nilai yang dianut. Misalkan dalam hidup sehari-hari di mana orangtua masih berperan besar dalam hidup.

Bagiku, seorang dewasa (adult) seharusnya tak lagi hidup menumpang orangtua, makan di rumah, pakaian dicuci oleh orangtua atau asisten rumah tangga yang digaji oleh orangtuanya, masih mendapatkan uang saku rutin dari orangtuamu, dan hal lainnya yang menunjukkan bahwa kehidupanmu sebagai seorang dewasa masih di-"subsidi" oleh orangtuamu.

Mungkin dengan sangat terpaksa aku akan memberikan pengecualian bagi orang yang bahkan setelah bekerja lebih dari dua belas bulan masih belum cukup penghasilannya untuk bisa keluar dari rumah orangtua. Atau setelah keluar pun masih mendapat sokongan untuk bisa hidup sehari-hari karena sebagai orang gajian, mendapatkan upah di bawah standar hidup layak sehingga tiap bantuan yang bisa diberikan akan diterima dan digunakan sebaik-baiknya.

Tapi aku bicara tentang kelompok orang dewasa yang secara pengasilan, memadai untuk menyewa tempat tinggal sendiri dan segala kebutuhan hidup agar mandiri. Namun kelompok orang ini tetap tinggal di rumah orangtuanya dan tak segan untuk tetap hidup disubsidi. Makan di rumah, mobil dibelikan orangtua, kartu kredit juga aplikasi oleh orangtua. Hidup rent free sehingga tinggal memikirkan pekerjaan dan pergaulan sosial. Enak, bukan?

Hanya saja, cara hidup seperti ini, sepertinya dianggap lumrah di Indonesia. Bahwa orangtua masih berat melepas anaknya, bahwa anak merasa hidup lebih hemat seperti ini, seperti hubungan yang mutualistis. Memang kalau dilihat dari kedua belah pihak, tak ada yang dirugikan.

Jadi kenapa aku sepertinya tidak setuju? Bukankah itu hidup pribadi mereka?

Benar.

Tapi secara keseluruhan, menurutku masyarakat dirugikan. Kita punya kelompok orang muda (dan mungkin sudah dewasa) yang dengan sadar memilih untuk tidak mandiri. Apa yang terjadi bila kelompok orang ini kemudian menikah dan membentuk keluarga, namun tetap didukung secara finansial oleh orangtua? Sekompetitif apa mereka dibandingkan keluarga yang mandiri?

Sampel contoh yang kupunya mungkin terlalu kecil untuk bisa dikatakan akurat tapi orang-orang yang dengan ekstrim bisa disebut manja ini belum layak diberi penghormatan setara dengan orang dewasa mandiri yang mau bertahan hidup tidak bergantung lagi dengan orangtua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bugging Me

Look, I am not a person that you might call "grammar Nazi" but CMIIW, shouldn't this ad be corrected? Is it or is it not the correct word should be " SMOOTHER "?

Pameran 200 Tahun Raden Saleh

Billboard Pameran Raden Saleh di Parkiran Museum Nasional

Perbandingan Gado-Gado

Sebelumnya minta maaf tak ada foto karena beberapa alasan. Baiklah, begini ceritanya: Tadi siang akhirnya aku membeli lagi gado-gado dari langgananku yang biasa mangkal di dekat sebuah rumah sakit. Sudah lama sekali tak makan di sini karena beberapa kali aku datang selalu saja sudah habis. Cukup laris memang, apalagi mengingat biasanya dia mulai berjualan pukul 10:00 pagi dan pada 12:30 biasanya dagangannya sudah habis. Seporsi gado-gado buatannya bisa didapat seharga 5.500 rupiah. Sebenarnya di dekat kantor ada cabang restoran gado-gado terkemuka di Jakarta. Saking dekatnya, tak sampai lima menit jalan kaki sudah sampai di restoran ini. Setahuku banyak juga orang yang datang ke sini untuk makan gado-gadonya. Lebih dekat ke restoran ini daripada ke penjual gado-gado langgananku itu. Tapi sampai sekarang aku belum pernah makan gado-gado restoran ini. Alasannya sederhana. Seporsi gado-gado restoran dihargai tak kurang dari 15 ribu rupiah. Ukuran porsi aku tak tahu tetapi bi...