Langsung ke konten utama

7th Jakarta Toys And Comics Fair

Keceriaan permainan saat ini dinilai dari seberapa banyak mainan luar negeri yang kita terima dan mainkan, kita miliki dan pajang, berbagi bersama teman-teman sehobi.



Keriangan bermain adalah dengan mengeluarkan dana dalam dolar dan mata uang asing atau dalam rupiah yang membuat hati meringis karena terasa betapa tak berharganya rupiah karena begitu banyaknya angka nol hanya untuk mendapatkan sebuah action figure 4 inci.


Kebanggaan atas permainan yang pantas diwujudkan dengan seberapa banyak hal-hal yang dikonsep, diproduksi, dan diperjualbelikan berasal dari negara yang bisa jadi sangat asing bagi para pemilik mainan tersebut. Tetapi terasa dekat karena produk budayanya yang jauh lebih akrab dibandingkan produk negara sendiri.


Aku tidak anti pada negara asing. Aku hanya merasa sayang sekali bahwa negaraku ini tak punya industri mainan yang seperti yang dimiliki di luar negeri. Produksi yang mampu diekspor ke berbagai macam negara lain dan bahkan menggerakkan perekonomian negara sendiri.


Membayangkan bahwa semua ini adalah produk dari daya imajinasi sekelompok orang yang kemudian di-monetize sedemikian rupa sehingga bahkan menjadi subkultur sendiri dalam budaya mereka, yang bahkan diadopsi oleh orang-orang lain di negara asing yang memiliki imajinasi mirip tetapi tak (belum?) punya outlet bagi semua daya cipta tersebut.


Kita punya pabrik yang sebenarnya mampu memproduksi mainan seperti yang dijual di Jakarta Toys And Comics Fair 2011 ini tetapi tentu saja tak ada yang membuatnya karena produksi tanpa kepastian pembeli adalah pemborosan yang membunuh diri. Padahal produksi dan distribusi kita tentu mampu. Hanya saja, kita mau memproduksi apa yang bakalan dibeli oleh orang?


Kita berperang dengan banyak hal untuk menghasilkan apapun di dalam negeri. Kita punya potensi yang SANGAT BESAR untuk berbagai macam mainan. Hanya saja pertanyaan yang masih kita berkutat adalah "apa yang bisa dijual?" masih belum dapat dijawab sampai sekarang. Terdengar menyedihkan tetapi kita cuma bisa mencoba untuk pahami saja.


Kita bisa berkarya. Kita bisa menjualnya. Kita punya potensi pasar yang begitu besar: Bayangkan saja, ada berapa banyak penduduk kita yang masih berusia sekolah dasar? Banyak sekali. Sayangnya, ada berapa banyak dari mereka yang orangtuanya mampu dan mau membelikan mainan yang kita (akan) produksi ini? Kurasa, sedikit. Itulah yang membuat kita ragu.


Terlalu banyak hal yang kita pertimbangkan sebelum melakukan apapun. Terlalu banyak orang yang mampu berimajinasi dan berkreasi tapi tak tahu memproduksi. Ada banyak yang bisa memproduksi dan tahu jalur distribusi tapi tak mampu bermimpi dan berkreasi untuk itu.

Ada gap yang sangat besar di sini.


Celah besar inilah yang masih hanya diisi oleh pemain/produsen asing dan kita hanyalah menjadi pasar bagi mereka. Pasar yang sangat potensial dan menggiurkan. Sesuatu yang kita sadari tapi belum mampu kita eksploitasi dengan optimal. Kita masih terlena dengan kemudahan membeli mainan asing daripada berusaha susah payah memproduksi mainan sendiri. Padahal soal kreasi, kita punya. Kemampuan produksi dan distribusi, kita bisa. Pasar, luas sekali.


Ada banyak tantangan yang harus dihadapi, masalah yang harus bisa diselesaikan, sebelum kita punya line up mainan yang mampu menjadi primadona di dalam negeri sendiri. Produk budaya yang mampu menjadi subkultur yang bahkan bisa diekspor ke manca negara. Sesuatu yang bisa kita identifikasikan sebagai Indonesia ketika bahkan berada di belahan dunia yang lain.


Hal yang menyenangkan dan bisa membangkitkan nostalgia saat kita berada jauh dari kampung halaman. Mainan yang mampu kita teruskan ke anak kita dan dengan bangga bercerita bahwa ini adalah mainan yang dulu juga kita mainkan dengan segala keasyikannya. Dan bahwa ini adalah asli produk anak bangsa. Dan bahwa kita bisa katakan, suatu hari nanti, bila anak kita berkreasi dan mencipta, mereka akan membuat mainan, komik, dan bahkan segala produk turunannya, mainan yang asli Indonesia.


Jepang bisa. Kenapa kita tidak?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

basically, what i do is...

losing money. i tend to think that i am smart than most people surrounding me in a daily basis but when i get to expand the circle just a little bit then wham! i am reminded how little i know about the real world and how people will not even acknowledge my level of knowledge. that i am just a nobody. that hurts. i told myself that i know a lot then act upon that information that i thought would be enough. many times, i get told that i know nothing. that my decision making is flawed. that i am not getting better, not learning from past mistakes. you know what? at least i know that i do not know. then i will try to learn more just to get that fraction of information / knowledge to add to my brain. i will prevail. i should.

Melakukan Perawatan Kendaraan Secara Berkala

Aku punya beberapa jenis kendaraan sebagai hak milik. Beberapa jenis punya lebih dari satu unit. Skuter dan sepeda, misalnya. Ada skuter keluaran Piaggio tahun 1980 dan 1994. Sepeda gunung dan sepeda balap. Sebuah motor trail keluaran Yamaha tahun 1976. Sebuah mobil tahun 2013. Yang tak kuperhitungkan dengan cermat sebelumnya adalah bahwa ada yang disebut dengan upkeep  alias biaya untuk tetap menjaga semuanya tetap bisa dipakai dan berfungsi dengan baik. Ongkos perawatan dan pemeliharaan, kalau mau sederhananya. Tidak kubayangkan bahwa tiap kendaraan untuk tetap legal, aku harus setia membayar pajak kendaraan tiap tahun. Untuk itu saja sudah habis sekian juta rupiah. Setiap tahunnya.

Build From Scratch, Again?

The transplants that had to build work, friendship and love from scratch all went a bit nuts and cannibalized themselves and others. Membaca dapat menjadi kegiatan yang membuka mata atau menohok perasaan, seperti kutipan artikel di atas (versi utuh dapat ditemukan di sini ). Aslinya tulisan opini tentang pengalaman sebagai perempuan di New York City tetapi kutipan kalimat di atas dapat digunakan untuk menjelaskan keadaan siapa saja yang datang ke kota besar yang baru. Seperti yang aku alami sekian tahun yang lalu saat pertama kali datang ke sebuah kota besar di pulau Jawa. Aku harus memulai segalanya dari awal, masuk lingkungan baru yang menganggap logat bicara dan cara berpakaianku waktu itu adalah udik. Aku tak keberatan karena memang aku berasal dari tengah hutan. Betapa berat penyesuaian yang harus kulakukan di lingkungan baru, membangun segalanya dari awal lagi. Kemudian beberapa tahun kemudian saat aku menerima tawaran untuk bekerja di pulau yang berbeda di propinsi yang ja...